Fenomena lubang bekas tambang yang terisi air dan berubah menjadi danau, meski tampak indah secara sekilas, menyimpan Dampak Lingkungan jangka panjang yang mematikan dan kompleks. Danau buatan ini, yang sering kali ditinggalkan tanpa reklamasi memadai oleh perusahaan pertambangan, menjadi saksi bisu kegagalan pertanggungjawaban korporasi terhadap alam. Air di dalamnya umumnya bersifat sangat asam dan terkontaminasi oleh logam berat, menjadikannya zona beracun yang mengancam ekosistem sekitar. Mengabaikan reklamasi adalah dosa lingkungan yang secara langsung menghambat upaya masyarakat lokal untuk mencapai Kemandirian Finansial melalui pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan.
Investigasi lapangan yang dilakukan oleh tim gabungan Lembaga Advokasi Lingkungan (LAL) pada bulan September 2024 menunjukkan temuan yang mengkhawatirkan di 12 titik danau bekas tambang. Sampel air yang diambil di kedalaman 5 meter menunjukkan kadar pH rata-rata 3,5, jauh di bawah batas normal yang aman bagi kehidupan akuatik. Ketua LAL, Bapak Dr. Hilman Syahputra, S.H., M.H., menjelaskan bahwa sifat asam ini dipicu oleh Acid Mine Drainage (AMD), yaitu proses oksidasi mineral sulfida yang terpapar udara. “Kandungan merkuri, timbal, dan arsenik di danau-danau ini jauh melampaui ambang batas aman. Ini adalah Dampak Lingkungan yang tidak dapat disembuhkan dengan mudah; dibutuhkan biaya triliunan rupiah dan waktu puluhan tahun,” tegas Dr. Hilman dalam konferensi pers yang digelar pada Selasa, 24 September 2024.
Ancaman terbesar dari danau beracun ini adalah kontaminasi ke sumber air tanah. Di Desa Sukamaju, yang berdekatan dengan salah satu danau bekas tambang, warga mulai mengeluhkan air sumur bor yang berubah warna dan rasa. Dinas Kesehatan (Dinkes) setempat telah mengeluarkan peringatan keras kepada warga pada Kamis, 26 September 2024, pukul 10.00 WIB, agar tidak menggunakan air sumur di radius 500 meter dari danau untuk konsumsi. Kepala Dinkes, Dr. Nita Anggraini, Sp.PK., menyatakan bahwa beberapa kasus penyakit kulit dan gangguan ginjal ringan yang terjadi pada warga diyakini memiliki korelasi dengan penggunaan air yang terkontaminasi.
Menyikapi masalah serius Dampak Lingkungan ini, Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) telah memanggil perwakilan dari tiga perusahaan pertambangan yang beroperasi di wilayah tersebut pada hari Senin, 30 September 2024. Pihak DPRD menuntut pertanggungjawaban penuh dan rencana aksi reklamasi yang konkret dalam jangka waktu 90 hari, terhitung sejak pemanggilan. Kapolsek setempat, melalui Unit Reskrim, juga telah mengambil langkah tegas dengan menyelidiki dugaan pidana terkait penelantaran kewajiban reklamasi, yang diatur dalam Undang-Undang Minerba. Penegakan hukum dan pengawasan yang ketat adalah kunci. Mengabaikan reklamasi pasca-tambang tidak hanya merusak alam tetapi juga merampas hak masyarakat untuk memanfaatkan lingkungannya secara sehat dan produktif. Hanya dengan memulihkan lingkungan, masyarakat dapat memanfaatkan potensi sumber daya alam untuk membangun Kemandirian Finansial yang berkelanjutan dan bebas dari risiko kesehatan.