Buruh Murah, Konsumsi Melesat: Kontradiksi Ganjil dalam Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Indonesia sering kali membanggakan pertumbuhan ekonominya yang stabil. Namun, di balik angka-angka makro yang impresif, terdapat sebuah kontradiksi ganjil yang jarang disadari. Di satu sisi, upah buruh murah menjadi magnet bagi investasi, tetapi di sisi lain, konsumsi domestik justru terus meningkat. Fenomena ini menciptakan ketidakseimbangan yang perlu diurai lebih dalam.

Upah tenaga kerja yang rendah memang menjadi daya tarik utama bagi para investor, terutama di sektor manufaktur dan padat karya. Dengan biaya produksi yang kompetitif, produk-produk dari Indonesia bisa bersaing di pasar global. Kebijakan ini dianggap strategis untuk menarik modal asing dan menciptakan lapangan kerja, meskipun upahnya kerap kali tidak sebanding dengan biaya hidup.

Ironisnya, di tengah upah yang pas-pasan, tingkat konsumsi masyarakat justru terus melonjak. Tren ini didorong oleh berbagai faktor, termasuk pertumbuhan populasi, kemudahan akses kredit, dan pengaruh gaya hidup modern. Sektor ritel dan e-commerce tumbuh pesat, mencerminkan daya beli yang seolah tak ada habisnya. Inilah paradoks aneh dari kondisi buruh murah.

Lalu, bagaimana kontradiksi ini bisa terjadi? Jawabannya terletak pada utang dan pinjaman. Banyak masyarakat yang mengandalkan pinjaman, baik dari bank maupun lembaga keuangan lainnya, untuk memenuhi kebutuhan konsumtif mereka. Kondisi ini menciptakan gelembung ekonomi yang rentan pecah jika terjadi krisis. Ini adalah fondasi yang rapuh dari pertumbuhan ekonomi.

Fenomena ini juga menimbulkan kesenjangan sosial yang semakin lebar. Mereka yang memiliki modal bisa terus meraup keuntungan dari tingginya konsumsi. Sementara itu, para pekerja yang upahnya rendah terus terjerat utang. Buruh murah menjadi pilar utama sistem ekonomi yang justru tidak menguntungkan mereka.

Pemerintah perlu mengambil langkah strategis untuk mengatasi ketidakseimbangan ini. Kenaikan upah minimum yang adil dan sebanding dengan inflasi harus menjadi prioritas. Selain itu, diperlukan program pemberdayaan ekonomi yang dapat meningkatkan daya saing pekerja, sehingga mereka tidak lagi terjebak dalam upah rendah.

Membangun ekonomi yang berkelanjutan tidak bisa hanya mengandalkan upah buruh murah dan konsumsi yang didanai utang. Kesejahteraan harus menjadi tujuan utama, di mana pekerja mendapatkan upah yang layak, dan pertumbuhan ekonomi benar-benar dinikmati oleh seluruh rakyat.